Dalam rangka melindungi hutan tropis, selama
ini pendukung konservasi sering mempersoalkan apakah penduduk asli itu penting,
atau merupakan suatu ancaman. Ketidaksepakatan para pemerhati lingkungan
tentang peran penduduk setempat dalam melindungi hutan tropis masih diselidiki
hingga sekarang.
Tak satu pun membantah bahwa keberadaan hutan
tropis semakin mengecil. Oleh karena itu, pemerhati lingkungan tidak ingin hal
itu terjadi, bahkan mendesak, mengenai cara terbaik untuk menghentikan
kerusakan dan melindungi yang tersisa.
Beberapa perselisihan dan desakan tersebut
telah diungkapkan beberapa bulan terakhir dalam jurnal Conservation Biology,
yang dipublikasikan oleh Perhimpunan Biologi Konservasi. Perdebatan memicu
pertanyaan tentang strategi apa yang cocok baik dalam konteks politik maupun
ekonomi bagi negara-negara tropis. Tapi juga menggambarkan ketidaksepakatan
tentang
peranan penduduk asli di sekitar hutan: apakah mereka layak mengelola
lahan, menjaga keberlanjutannya dan melindungi keanekaragamannya, atau sesekali
mereka mengambil keuntungan ekonomi.
Pada akhir Oktober Stephan Schwartzman,
seorang antropolog yang bekerja untuk perlindungan lingkungan, dan Adriana G.
Moreira serta Daniel C. Nepstad, yang menggelar pertemuan di Woods Hole
Research Center dan Brazil's Amazonian Institute of Environmental Research.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Rethinking Tropical Forest Conservation:
Perils in Parks”, mereka menuduh kehadiran manusia dalam beberapa tahun
terakhir di wilayah hutan tropis, sangat tidak sesuai dengan usaha perlindungan
keanekaragaman hayati karena mengkhawatirkan adanya efek pemburuan satwa
besar-besaran dalam hutan tropis. Kerja sama antara ahli biologi konservasi
dengan penduduk setempat mengancam upaya penyelamatan untuk membangun aturan
konservasi jangka panjang yang akan menjamin perlindungan dari usaha perusakan
ekosistem. Kebanyakan dampak hayati telah membuang masa depan hutan tropis
dengan membatasi kelestarian secara alami, mengubahnya menjadi area tak
berpenghuni, dan perusakan alam.
Pilihan sebenarnya adalah antara menempati
hutan, melindungi penduduk, dan menggembala ternak atau menyelenggarakan
industri pertanian. Pembelaan terhadap pembebasan lahan, memandang penduduk
setempat sebagai musuh alam dari pelaku politik merupakan dasar bagi para
pendukung lingkungan. Melindungi hutan tak berpenghuni sangat penting, namun
hutan yang telah mengalami modifikasi oleh manusia – hampir terjadi di semua hutan tropis – juga
memiliki nilai pemeliharaan yang dahsyat. Polemik keabsahan penduduk hutan dan
peran serta mereka kurang lebih cara efektif untuk mencapai perlindungan hutan
tropis daripada pembangunan persekutuan dengan mereka.
John Terborgh, profesor dari sains lingkungan
dan botani serta direktur dari pusat Tropical Conservation di Duke University
mengemukakan pandangannya dalam Requiem for Nature (Island Press, 1999),
mengungkap kembali isu yang sama tentang perlindungan hayati. Terborgh
mengemukakan bahwa mengizinkan hak orang lokal untuk menempati lahan itu jauh
lebih baik, dari sisi etika dan alasan-alasan perlindungan, demi menjaga
lahannya agar tak dikuasai oleh serbuan tiba-tiba seperti penebang liar,
penambang, dan peternak.
Bagaimanapun penduduk asli tidak selalu benar
dalam mendayagunakan alam. Terkadang, demi menjaga eksistensi penduduk asli dan
satwa di hutan tropis yang baru, dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi
dan menekan jumlah kepadatan penduduk. Dengan kata lain, ketika jumlah kelompok
tersebut meningkat dan mereka mengenal senapan, gergaji mesin, dan peralatan
canggih lainnya, mereka hadir untuk menjarah satwa dan hutan seperti yang
dilakukan oleh penjajah Eropa.
Sumber daya yang tak dimanfaatkan akan
menarik pemeras dimanapun mereka berada. Ketika sumber daya hayati tidak
dimanfaatkan, mereka akan menjadi terlindungi atau hilang. Terborgh berharap
populasi penduduk setempat tumbuh secara signifikan dalam dekade mendatang dan
mengalami peralihan budaya. Generasi yang lebih muda akan mempunyai harapan
sama untuk menikmati kekayaan hutan seperti masyarakat lainnya demi membangun
negeri.
Ia memprediksi, hal ini tidak akan lama lagi
sebelum penduduk asli berhasil menguasai alat gergaji mesin, truk – semua
perlengkapan dalam industri kayu modern – dan akan semakin sibuk menjual sumber
hayati mereka sebagai satu-satunya yang bisa mereka lakukan demi menuju
kemakmuran bagi wilayah mereka.
Singkatnya, Terborgh melihat tekanan kuat, baik dari masyarakat setempat dan
kepentingan luar, bagi hutan dan percaya bahwa kontrol dalam penegakan
peraturan secara ketat penggunaan lahan hutan akan menunjang keanekaragaman
hayati. Sementara penempatan lahan sampingan “cadangan bagi penduduk asli”
mungkin berlaku dalam jangka pendek. Pada akhirnya tekanan ekonomi akan
mengalami penurunan sehingga kemajuan dalam menghadapi pertumbuhan populasi
secara berlanjut.
Diskusi tentang isu tersebut masih berlanjut
dalam merespon publikasi di bulan Juni oleh Conservation Biology. Salah
satunya, Carlos A. Peres dari Britain's University of East Anglia dan Barbara
Zimmerman dari Universitas Toronto mengatakan bahwa kedua pendapat tersebut
mempunyai satu tujuan. Mereka mengutip bukti pelanggaran dari tempat tinggal
cadangan seorang penduduk asli yang
dikelola oleh suku Indian Kayapos di Brazil, dimana tidak memungkinkan untuk
bekerja dengan orang asli Amazon untuk melindungi hutan dan melestarikan
spesies melalui pencabutan kawasan aktivitas secara tegas di dalam wilayah
mereka.
Di lain pihak, mereka melaporkan bahwa hutan
dikelola oleh banyak komunitas rakyat Amazon yang secara membabi buta menjarah
pepohonan dan tumbuhan merambat, padahal keduanya penting dalam menjalankan
iklim dan siklus hidrologi yang akan menjamin keberlanjutan ekosistem tersebut.
Pembahasan mencerminkan beberapa sudut
pandang yang bertentangan tentang peranan manusia di alam. Apakah manusia
menjadi bagian dari alam – Aldo Leopold menyebut mereka seperti awak kapal
dalam petualangan menuju perubahan – Atau karena mengalami kemajuan kebudayaan
manusia dan teknologi terkait, sehingga memisahkan manusia dari alam? Apakah
peralatan mereka memungkinkan mereka berubah – pelan tapi pasti – dan proses
evolusi akan mengantar mereka menuju kekacauan?
Satu hal, barangkali terlalu sederhana,
pembela masyarakat – membebaskan pemegang lahan dengan posisi yang paling
belakang dan percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri kekacauan adalah
menarik keluar penduduk setempat dari lingkungan alami dan membiarkan proses
mengerjakan perkerjaan mereka. Schwartzman dan rekannya nampak masih
mepertahankan posisinya, dan berpendapat bahwa manusia dapat belajar untuk
tetap tinggal dalam lingkungan tersebut dalam rangka melindungi kepentingan
mereka dan kesehatan ekosistem dalam jangka panjang.
Dari uraian di atas, dapat diketahui adanya
ketidaksepakatan mengenai peranan manusia terhadap kelestarian hutan tropis,
dalam hal ini penduduk asli yang menghuni suatu kawasan hutan tropis. Beberapa
pendapat bermunculan dengan rincian sebagai berikut:
1. Kelompok
Kontra Penduduk Asli
Stephan Schwartzman, seorang antropolog yang
bekerja untuk perlindungan lingkungan, dan Adriana G. Moreira serta Daniel C.
Nepstad, yang menggelar pertemuan pada akhir Oktober di Woods Hole Research
Center dan Brazil's Amazonian Institute of Environmental Research.
Dasarnya adalah
kekhawatiran akan adanya efek pemburuan satwa besar-besaran dalam hutan tropis,
membatasi kelestarian secara alami, mengubahnya menjadi area tak berpenghuni
jika sudah tak ada yang bisa diambil manfaatnya, dan perusakan alam. Mereka memandang
penduduk setempat sebagai musuh alam.
2. Kelompok
Pro Penduduk Asli
John Terborgh,
profesor dari sains lingkungan dan botani serta direktur dari pusat Tropical
Conservation di Duke University mengemukakan pandangannya dalam Requiem for
Nature (Island Press, 1999), bahwa mengizinkan hak orang lokal untuk menempati
lahan itu jauh lebih baik, dari sisi etika dan alasan-alasan perlindungan.
Dasarnya adalah
kecenderungan penduduk asli dalam menjaga dan mempertahankan lahan atau
wilayahnya agar tak dikuasai oleh serbuan tiba-tiba seperti penebang liar,
penambang, dan peternak. Hal tersebut berlaku selama penduduk setempat mampu
mengontrol diri dalam upaya pemanfaatan sumber daya hutan agar tidak merusak
ekosistem di dalamnya, misalnya dalam penggunaan peralatan modern.
Dari kedua sudut pandang tersebut, sekiranya bisa diambil
jalan tengahnya yaitu bahwa penduduk asli masih dibutuhkan peranannya dalam
menjaga kelestarian hutan tropis secara umum. Hal ini dikarenakan naluri
manusia yang cenderung akan melakukan yang terbaik bagi alam sekitar demi
menjaga eksistensi kehidupan mereka serta dalam pemenuhan kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Namun disamping itu juga perlu dilakukan pengawasanoleh
pemerintah melalui aturan semacam undang-undang untuk mengontrol aktivitas
penduduk asli sehingga kelestarian hutan tetap terjaga.
Sumber:
Scully,
Malcolm. 2001. Tropical Forests and the
Human Effect. [international journal]. http://search.proquest.com/docview/214700709?accountid=139588. [10 November 2011].
Untuk menjaga hutan tropis diperlukan kesadaran masing-masing individu manusia di bumi ini. Entah itu penduduk lokal pada hutan tropis, penduduk pendatang maupun penduduk yang bukan tinggal di hutan tropis. Kesadaran yang diperlukan adalah kesadaran agar semua manusia sadar untuk tetap selalu menjaga kelestarian hutan. Agar bumi kita tetap terjaga.Hasil diskusi para pakar akan lebih baik jika itu dilanjutkan dengan sosialisasi kepada umat seluruh dunia agar mereka juga ikut menjaga kelestarian hutan. Antara penduduk lokal atau bukan, semua memiliki peran yang sama. Dan pendukung maupun bukan pendukung penduduk lokal, mereka juga mempunyai tujuan yang sama yaitu melestarikan kekayaan hayati hutan tropis.
BalasHapusSetuju Anisa... (y) (y) (y)
BalasHapusMaaf telat bales ya .. :)