Sabtu, 03 Maret 2012

Pengaruh Manusia terhadap Hutan Tropis



Dalam rangka melindungi hutan tropis, selama ini pendukung konservasi sering mempersoalkan apakah penduduk asli itu penting, atau merupakan suatu ancaman. Ketidaksepakatan para pemerhati lingkungan tentang peran penduduk setempat dalam melindungi hutan tropis masih diselidiki hingga sekarang.
Tak satu pun membantah bahwa keberadaan hutan tropis semakin mengecil. Oleh karena itu, pemerhati lingkungan tidak ingin hal itu terjadi, bahkan mendesak, mengenai cara terbaik untuk menghentikan kerusakan dan melindungi yang tersisa.

Beberapa perselisihan dan desakan tersebut telah diungkapkan beberapa bulan terakhir dalam jurnal Conservation Biology, yang dipublikasikan oleh Perhimpunan Biologi Konservasi. Perdebatan memicu pertanyaan tentang strategi apa yang cocok baik dalam konteks politik maupun ekonomi bagi negara-negara tropis. Tapi juga menggambarkan ketidaksepakatan tentang
peranan penduduk asli di sekitar hutan: apakah mereka layak mengelola lahan, menjaga keberlanjutannya dan melindungi keanekaragamannya, atau sesekali mereka mengambil keuntungan ekonomi.
Pada akhir Oktober Stephan Schwartzman, seorang antropolog yang bekerja untuk perlindungan lingkungan, dan Adriana G. Moreira serta Daniel C. Nepstad, yang menggelar pertemuan di Woods Hole Research Center dan Brazil's Amazonian Institute of Environmental Research. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Rethinking Tropical Forest Conservation: Perils in Parks”, mereka menuduh kehadiran manusia dalam beberapa tahun terakhir di wilayah hutan tropis, sangat tidak sesuai dengan usaha perlindungan keanekaragaman hayati karena mengkhawatirkan adanya efek pemburuan satwa besar-besaran dalam hutan tropis. Kerja sama antara ahli biologi konservasi dengan penduduk setempat mengancam upaya penyelamatan untuk membangun aturan konservasi jangka panjang yang akan menjamin perlindungan dari usaha perusakan ekosistem. Kebanyakan dampak hayati telah membuang masa depan hutan tropis dengan membatasi kelestarian secara alami, mengubahnya menjadi area tak berpenghuni, dan perusakan alam.
Pilihan sebenarnya adalah antara menempati hutan, melindungi penduduk, dan menggembala ternak atau menyelenggarakan industri pertanian. Pembelaan terhadap pembebasan lahan, memandang penduduk setempat sebagai musuh alam dari pelaku politik merupakan dasar bagi para pendukung lingkungan. Melindungi hutan tak berpenghuni sangat penting, namun hutan yang telah mengalami modifikasi oleh manusia – hampir   terjadi di semua hutan tropis – juga memiliki nilai pemeliharaan yang dahsyat. Polemik keabsahan penduduk hutan dan peran serta mereka kurang lebih cara efektif untuk mencapai perlindungan hutan tropis daripada pembangunan persekutuan dengan mereka.
John Terborgh, profesor dari sains lingkungan dan botani serta direktur dari pusat Tropical Conservation di Duke University mengemukakan pandangannya dalam Requiem for Nature (Island Press, 1999), mengungkap kembali isu yang sama tentang perlindungan hayati. Terborgh mengemukakan bahwa mengizinkan hak orang lokal untuk menempati lahan itu jauh lebih baik, dari sisi etika dan alasan-alasan perlindungan, demi menjaga lahannya agar tak dikuasai oleh serbuan tiba-tiba seperti penebang liar, penambang, dan peternak.
Bagaimanapun penduduk asli tidak selalu benar dalam mendayagunakan alam. Terkadang, demi menjaga eksistensi penduduk asli dan satwa di hutan tropis yang baru, dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi dan menekan jumlah kepadatan penduduk. Dengan kata lain, ketika jumlah kelompok tersebut meningkat dan mereka mengenal senapan, gergaji mesin, dan peralatan canggih lainnya, mereka hadir untuk menjarah satwa dan hutan seperti yang dilakukan oleh penjajah Eropa.
Sumber daya yang tak dimanfaatkan akan menarik pemeras dimanapun mereka berada. Ketika sumber daya hayati tidak dimanfaatkan, mereka akan menjadi terlindungi atau hilang. Terborgh berharap populasi penduduk setempat tumbuh secara signifikan dalam dekade mendatang dan mengalami peralihan budaya. Generasi yang lebih muda akan mempunyai harapan sama untuk menikmati kekayaan hutan seperti masyarakat lainnya demi membangun negeri.
Ia memprediksi, hal ini tidak akan lama lagi sebelum penduduk asli berhasil menguasai alat gergaji mesin, truk – semua perlengkapan dalam industri kayu modern – dan akan semakin sibuk menjual sumber hayati mereka sebagai satu-satunya yang bisa mereka lakukan demi menuju kemakmuran bagi wilayah mereka.
Singkatnya, Terborgh melihat tekanan  kuat, baik dari masyarakat setempat dan kepentingan luar, bagi hutan dan percaya bahwa kontrol dalam penegakan peraturan secara ketat penggunaan lahan hutan akan menunjang keanekaragaman hayati. Sementara penempatan lahan sampingan “cadangan bagi penduduk asli” mungkin berlaku dalam jangka pendek. Pada akhirnya tekanan ekonomi akan mengalami penurunan sehingga kemajuan dalam menghadapi pertumbuhan populasi secara berlanjut.
Diskusi tentang isu tersebut masih berlanjut dalam merespon publikasi di bulan Juni oleh Conservation Biology. Salah satunya, Carlos A. Peres dari Britain's University of East Anglia dan Barbara Zimmerman dari Universitas Toronto mengatakan bahwa kedua pendapat tersebut mempunyai satu tujuan. Mereka mengutip bukti pelanggaran dari tempat tinggal cadangan seorang penduduk asli  yang dikelola oleh suku Indian Kayapos di Brazil, dimana tidak memungkinkan untuk bekerja dengan orang asli Amazon untuk melindungi hutan dan melestarikan spesies melalui pencabutan kawasan aktivitas secara tegas di dalam wilayah mereka.
Di lain pihak, mereka melaporkan bahwa hutan dikelola oleh banyak komunitas rakyat Amazon yang secara membabi buta menjarah pepohonan dan tumbuhan merambat, padahal keduanya penting dalam menjalankan iklim dan siklus hidrologi yang akan menjamin keberlanjutan  ekosistem tersebut.
Pembahasan mencerminkan beberapa sudut pandang yang bertentangan tentang peranan manusia di alam. Apakah manusia menjadi bagian dari alam – Aldo Leopold menyebut mereka seperti awak kapal dalam petualangan menuju perubahan – Atau karena mengalami kemajuan kebudayaan manusia dan teknologi terkait, sehingga memisahkan manusia dari alam? Apakah peralatan mereka memungkinkan mereka berubah – pelan tapi pasti – dan proses evolusi akan mengantar mereka menuju kekacauan?
Satu hal, barangkali terlalu sederhana, pembela masyarakat – membebaskan pemegang lahan dengan posisi yang paling belakang dan percaya bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri kekacauan adalah menarik keluar penduduk setempat dari lingkungan alami dan membiarkan proses mengerjakan perkerjaan mereka. Schwartzman dan rekannya nampak masih mepertahankan posisinya, dan berpendapat bahwa manusia dapat belajar untuk tetap tinggal dalam lingkungan tersebut dalam rangka melindungi kepentingan mereka dan kesehatan ekosistem dalam jangka panjang.

Dari uraian di atas, dapat diketahui adanya ketidaksepakatan mengenai peranan manusia terhadap kelestarian hutan tropis, dalam hal ini penduduk asli yang menghuni suatu kawasan hutan tropis. Beberapa pendapat bermunculan dengan rincian sebagai berikut:
1.      Kelompok Kontra Penduduk Asli
Stephan Schwartzman, seorang antropolog yang bekerja untuk perlindungan lingkungan, dan Adriana G. Moreira serta Daniel C. Nepstad, yang menggelar pertemuan pada akhir Oktober di Woods Hole Research Center dan Brazil's Amazonian Institute of Environmental Research.
Dasarnya adalah kekhawatiran akan adanya efek pemburuan satwa besar-besaran dalam hutan tropis, membatasi kelestarian secara alami, mengubahnya menjadi area tak berpenghuni jika sudah tak ada yang bisa diambil manfaatnya, dan perusakan alam. Mereka memandang penduduk setempat sebagai musuh alam.
2.      Kelompok Pro Penduduk Asli
John Terborgh, profesor dari sains lingkungan dan botani serta direktur dari pusat Tropical Conservation di Duke University mengemukakan pandangannya dalam Requiem for Nature (Island Press, 1999), bahwa mengizinkan hak orang lokal untuk menempati lahan itu jauh lebih baik, dari sisi etika dan alasan-alasan perlindungan.
Dasarnya adalah kecenderungan penduduk asli dalam menjaga dan mempertahankan lahan atau wilayahnya agar tak dikuasai oleh serbuan tiba-tiba seperti penebang liar, penambang, dan peternak. Hal tersebut berlaku selama penduduk setempat mampu mengontrol diri dalam upaya pemanfaatan sumber daya hutan agar tidak merusak ekosistem di dalamnya, misalnya dalam penggunaan peralatan modern.

Dari kedua sudut pandang tersebut, sekiranya bisa diambil jalan tengahnya yaitu bahwa penduduk asli masih dibutuhkan peranannya dalam menjaga kelestarian hutan tropis secara umum. Hal ini dikarenakan naluri manusia yang cenderung akan melakukan yang terbaik bagi alam sekitar demi menjaga eksistensi kehidupan mereka serta dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun disamping itu juga perlu dilakukan pengawasanoleh pemerintah melalui aturan semacam undang-undang untuk mengontrol aktivitas penduduk asli sehingga kelestarian hutan tetap  terjaga.

Sumber:          
Scully, Malcolm. 2001. Tropical Forests and the Human Effect. [international journal]. http://search.proquest.com/docview/214700709?accountid=139588. [10 November 2011].

2 komentar:

  1. Untuk menjaga hutan tropis diperlukan kesadaran masing-masing individu manusia di bumi ini. Entah itu penduduk lokal pada hutan tropis, penduduk pendatang maupun penduduk yang bukan tinggal di hutan tropis. Kesadaran yang diperlukan adalah kesadaran agar semua manusia sadar untuk tetap selalu menjaga kelestarian hutan. Agar bumi kita tetap terjaga.Hasil diskusi para pakar akan lebih baik jika itu dilanjutkan dengan sosialisasi kepada umat seluruh dunia agar mereka juga ikut menjaga kelestarian hutan. Antara penduduk lokal atau bukan, semua memiliki peran yang sama. Dan pendukung maupun bukan pendukung penduduk lokal, mereka juga mempunyai tujuan yang sama yaitu melestarikan kekayaan hayati hutan tropis.

    BalasHapus
  2. Setuju Anisa... (y) (y) (y)

    Maaf telat bales ya .. :)

    BalasHapus

Powered By Blogger